Jumat, 10 Desember 2010

warisan derita wanita perkasa

ini adalah tulisan yang pernah di muat di harian surya.
ditulis oleh: Fikri Amrullah
salah satu hal yang mendorong Kartini memperjuangkan nasib kaumnya adalah kondisi wanita pada masa itu, antara lain, dari usaha pembatikan. Sekalipun resminya masyarakat tak mengenal perbudakan, namun keadaan yang dialami buruh wanita seringkali memprihatinkan.
Mereka tidak ada bedanya dengan budak, yang tidak memiliki hak atas dirinya sendiri. Siang malam mereka ditutup dalam bilik sempit, tidak terkecuali dalam kondisi sakit sekalipun, mereka terus bekerja. Umumnya mereka terjerat utang pada majikan, karena mereka butuh uang sekadar untuk makan dan membeli obat-obatan. Dengan bekerja sepanjang hidupnya, mereka tetap tak akan mampu membayar utang, karena upah mereka sangat terbatas. Dalam situasi terpojok seperti itu, hilangnya kemerdekaan, mereka terima sebagai suratan nasib yang harus dijalani, tanpa daya untuk mengubahnya sama sekali.
Kondisi seperti itu secara umum memang sudah tidak ditemui lagi di zaman sekarang ini. Namun, bentuk kasusnya bukannya sama sekali tidak ada yang serupa. Masih banyak buruh yang terpaksa bekerja tanpa ada ketentuan mengenai kondisi kerjanya. Kalau hal itu terjadi di kota dan terhadap buruh yang relatif terpelajar, masih memungkinkan buruh memiliki posisi tawar, sekalipun tidak ada kesepakatan tertulis. Tetapi, kalau menyangkut buruh yang buta huruf atau berpendidikan terbatas, hubungan tawar berganti dengan pemaksaan sepihak. Yaitu dari pihak pemberi kerja atau sesama pekerja yang menjadi atasannya. Status alami sebagai wanita membuka kemungkinan paksaan tersebut, bukan sekadar dalam bentuk kerja fisik, namun juga seksual.
Dewasa ini kasus-kasus pembantu rumah tangga (PRT) hingga tenaga kerja wanita (TKW) yang mengalami kekerasan dalam bekerja terus saja membuat heboh. Selain menerima penganiayaan fisik dan psikologis, pelecehan, hingga upah kerja yang tidak pernah dibayar.
Pengawasan oleh masyarakat untuk menyikapi situasi tersebut sangat penting, karena seringkali mekanisme formal dan hukum sangat sulit untuk menjangkau mereka yang berada di posisi bawah ini. Masalah utama di sini adalah sangat kurangnya pengertian hukum dari sebagian masyarakat bawah yang belum memeroleh cukup pendidikan. Yang terpenting adalah membentengi buruh dengan kemampuan bela diri personal. Bukan dalam arti bela diri secara fisik, namun lebih sebagai kesadaran hukum, kesadaran atas kedudukan, hak dan kewajiban mereka.
Tentu saja hal ini memang butuh waktu, karena terkait dengan proses pendidikan tadi. Jangkauan organisasi-organisasi kemasyarakatan juga masih terbatas peran sertanya. Oleh karena itu, perlu keserempakan dalam menggarap hal ini, untuk menciptakan iklim yang mendorong para majikan sepenuhnya memperhatikan norma-norma sosial dan agama.
Dibaca: 983 


0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 UPM Millenium IAIN Jember. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan