Kamis, 09 Desember 2010

Sebelum Mati Buatlah Minimal Satu Buku!

Ilustrasi-buku/Admin (sutterstock)
Artikel ini saya dapatkan dari kompasiana, saya kutip karena sangat menarik untuk di share kepada para sahabat yang hoby dalam dunia tulis menulis, oh iya di kompasiana nama penulisnya adalah Budiman Hakim.

Kalau ada yang paling saya sesali dari sifat saya, tanpa ragu-ragu saya akan menuding ‘Si Malas.’ Saya tidak pernah mengerti, kenapa saya bisa jadi orang yang begitu pemalas. Almarhumah Ibu saya sering bilang; kalau Budiman Hakim lagi leyeh-leyeh di tempat tidur, ancaman bom dari teroris sekalipun belum tentu mampu membangunkannya. Tapi walaupun selalu mengomel, dia  terlalu mencintai saya, sehingga tidak pernah mengganggu kegiatan favorit saya yang orang lain biasa lakukan di malam hari.


Ibu saya adalah orang yang pintar. Sering saya mencurigai dia jenius. Terutama ketika dengan caranya sendiri dia mampu menguasai bahasa Inggris secara otodidak. Kalo bahasa belanda mah dia lancar banget tapi bahasa inggris? Saya ga pernah denger dia pernah belajar. Waktu pacar saya yang bule menginap di rumah, saya terkagum-kagum ketika ibu saya berbicara ke pacar saya dengan bahasa inggris lumayan fasih.

Dia juga gemar sekali membaca. Semua bacaan dilahapnya. Dari majalah Belanda ‘Libelle’ sampai cerita silat cina dia hajar tanpa pandang bulu. Waktu kecil saya suka tanya apa yang sedang beliau baca? Kok tidak ada gambar dan hurufnya kecil-kecil. Dia cuma menjawab pendek, “Giok Lo Sat!”

Giok Lo Sat! Buat saya kata itu sulit sekali ditirukan. Saya tidak mengerti apa nikmatnya membaca buku-buku seperti itu. Jangankan ceritanya, menghafal nama-nama tokohnya saja sulit bukan main. Namun betul kata orang. Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya. Ketika sudah bisa membaca, saya jadi ikut-ikutan gandrung membaca cerita silat cina.
Ibu saya juga suka menulis. Beberapa kali tulisannya terpampang di majalah Femina. Satu di antaranya yang masih saya ingat berjudul “Cinta Bersemi Di Nusa Kambangan.” Sebuah kisah cinta seorang anak sipir penjara yang menjalin kasih dengan seorang tahanan politik yang sedang di penjara di pulau itu.  Belakangan saya tahu bahwa kisah cinta itu ternyata kisah nyata antara ibu dan ayah saya. Romantis sekali ya?

Saya selalu iri sama orang yang bisa menulis begitu panjang tapi konsistensinya terjaga. Buat saya itu adalah hal yang tidak mungkin bisa saya lakukan. Saya sebenarnya sering mendapat ide cerita untuk  membuat cerpen. Tapi selalu tidak pernah selesai. Baru 2 halaman, kelopak mata saya sudah menurun hingga 5 watt. Lalu tubuh saya mengubah posisinya sendiri menjadi horizontal. Jadi saya tidak berharap lagi untuk menulis cerpen. Apalagi menulis buku!

Saya juga selalu kagum pada almarhum ayah saya yang selalu bangun pagi. Padahal masa pensiun kan paling enak buat tidur. Dan dia bisa melakukan hal itu sepuas hatinya kalau dia mau. Ayah saya adalah pensiunan wartawan Kantor Berita Antara. Jabatan terakhirnya kalau tidak salah ‘Kepala Desk Dalam Negeri’. Kalau tidak salah lho…kalau salah ya maap! Maklum deh saya masih kecil sekali waktu itu.

Seperti Ibu, Ayah juga suka membaca dan menulis (Ya pastilah…kebangetan kalo wartawan  tidak suka nulis?). Bacaan Ayah agak spesifik. Kalau bukan politik, dia gemar membaca buku tentang sejarah-sejarah kuno. Ayah saya juga menerbitkan beberapa buku. Yang saya ingat antara lain ‘100 tahun meletusnya Gunung Krakatau,’ ‘Dari Pulau Bunga ke Pulau Dewa’ ‘Jakarta Tempo Doeloe’…dan apa lagi ya? Lupa saya!

Setiap kali saya lagi ngobrol dengan Ayah, dia selalu mengulang-ulang kalimat favoritnya, “Sebelum mati, buatlah minimal 1 buku.” Saya sih cuma senyum-senyum saja kalau dia mengucapkan kalimat itu. Tapi karena didonder terus-terusan oleh kalimat itu, saya menyahut juga dalam hati:”OK! Saya akan buat minimal 1 buku sesuai dengan nasihat Ayah!” Saya tidak berani mengucapkannya verbal, karena tahu diri. Besar kemungkinan saya tidak bisa memenuhinya.

Tapi karena memang sudah merasa berjanji, saya berusaha mengumpulkan puisi-puisi pendek saya. Saya kumpulkan dan rencananya akan saya terbitkan sekedar pemenuhan janji tadi. Hasilnya? Gagal total! Setelah saya baca ulang, semua puisi yang pernah saya buat dari jaman Sekolah Dasar sampai sekarang kok rasanya jelek semua. Mana ada penerbit yang mau? Saya menyerah! Lupalah saya pada janji itu.

Bertahun-tahun saya disibukkan dengan periklanan. Inilah industri yang paling cocok buat saya. Ke kantor bisa pakai Blue Jeans dan T-shirt. Jam kerja sangat fleksibel. Saya bisa datang siang hari. Beda sekali dengan bankir yang jam 8 pagi sudah nongkrong di meja kerjanya. Berpakaian rapi dengan dasi segala. Sumuk melihatnya! Bicara soal gaji dan karir? Belum tentu advertising kalah. Jenis pekerjaannya pun gampang.

Saya ga pernah mengalami kesulitan di industri ini. Habis wisuda, tanggal 13 Agustus tahun 1990, saya memulai karir di biro iklan Leo Burnett, tahun depannya team saya berhasil memperoleh penghargaan emas di Citra Pariwara, sebuah ajang lomba iklan nasional. Tahun 1991 saya pindah ke biro iklan Ogilvy. Tahun 1993 iklan radio FROZZ yang saya buat memperoleh penghargaan The Best of The Best Citra Pariwara.

Bosan kerja sama orang, tanggal 1 April 1993 bersama Ariyanto Zainal, Rizky Nur Zamzamy dan Ati Kisjanto, saya mendirikan biro iklan sendiri, namanya MACS909. Tahun depannya MACS909 sudah mendapat 1 emas di Citra Pariwara untuk kategori PSA (maklum kita belum punya klien). Tuhan itu memang baik hati. Dia menciptakan bidang  periklanan  yang sangat menarik di segala segi untuk saya. Berapa banyak orang di dunia ini yang menemukan bidang yang sesuai dengan hatinya?
Cuma ya seperti bidang lainnya, periklanan kita juga ada kekurangannya. Buku-buku periklanan terasa langka sekali. Kalau ada pun pastilah buatan pengarang asing yang harganya mahal sekali. Sementara mahasiswa dan praktisi periklanan kita banyak yang kurang hobby membaca. Di samping itu juga banyak yang mempunyai kendala dalam bahasa Inggris.

Saya heran, kenapa bahasa Inggris tidak dijadikan saja sebagai bahasa nasional kedua setelah bahasa Indonesia. Sudah jelas-jelas banyak gunanya. Kalau saya jadi Menteri Pendidikan Nasional saya pasti akan mengeluarkan kebijakan itu. Dan generasi berikutnya pasti akan berterimakasih pada saya. Sayangnya saya bukan menteri dan tidak akan pernah jadi menteri.. Jadi saya harus mencari cara untuk membantu industri periklanan sesuai dengan kapasitas yang memungkinkan.
‘Sebelum mati buatlah minimal 1 buku.’ Sekonyong-konyong kalimat Ayah yang sudah bertahun-tahun beristirahat di pelosok benak saya muncul dan menempati papan atas urutan pikiran. Waduh! Jangan-jangan ayah saya nagih janji nih? Apa lagi yang bisa saya lakukan kalau sudah begini? Ayah sudah almarhum tapi masih nagih janji juga, artinya saya ga punya pilihan lain kan?

Saya pun berkonsultasi dengan banyak orang yang berpengalaman dalam bidang perbukuan. Dengan kakak dan teman saya yang pernah menulis buku. Lalu curhat lagi sama teman-teman yang lebih senior di periklanan, semuanya mendukung! Semuanya menyambut gembira niatan itu. Kelihatannya semua akan berjalan mulus. Kendalanya tinggal 1. Apakah itu? Ya Si Malas yang selalu mendominasi diri saya selama ini. Menulis buku? Jauh sekali dari angan-angan saya.

Tapi seperti kata orang bijak ‘Gusti Allah mboten Sare!’ Selalu saja ada berkah bahkan bagi orang malas sekalipun. Saya teringat pada artikel-artikel yang pernah saya muat di Majalah Cakram, ADOI dan media lainnya. Wawancara-wawancara saya dengan banyak media. Materi-materi seminar ketika jadi pembicara. Materi-materi perkuliahan ketika saya mengajar di berbagai perguruan tinggi, dan tentu saja tulisan-tulisan saya di blog dan milis periklanan di internet. Semuanya saya korek-korek lagi. Saya kumpulkan jadi satu kemudian saya pelajari. Ada banyak keganjilan ditemukan. Yang paling menonjol adalah gaya bertuturnya yang sangat beda. Perbedaan cara bertutur ini disebabkan karena tulisan-tulisan itu ditujukan pada target audienceberbeda dan media yang berbeda pula.

Saya rangkum agar pemaparannya runtun. Saya coba menyeragamkan gaya bahasanya yangbelang bonteng.. Lambat seperti kura-kura tapi tetap berjalan. Tidak mudah memang tapi jauh lebih ringan dibandingkan dengan kalau saya harus menulis dari awal. Dan hebatnya lagi, banyak sekali pihak yang menawarkan bantuan tanpa dibayar, baik itu dari kalangan praktisi senior, yunior bahkan mahasiswa. Terimakasih semuanya. Tanpa kalian semua ini tidak mungkin terjadi. Karena bantuan kalian, Si Pemalas akhirnya berhasil menyelesaikan buku pertama dalam kurun waktu yang relatif cepat. 4 tahun!
Ternyata memang menulis buku seperti merobek selaput perawan. Pertamanya susah dan ga bisa dinikmati, tapi kalo fase itu udah terlewati, selanjutnya jadi enak banget dan gampang. Bahkan bisa-bisa kita jadi ketagihan dan menjadi maniak menulis. Pikiran kita bisa didominasi oleh satu hal saja: mau menulis dan menulis lagi. Dan itulah yang terjadi pada saya.

Setelah satu buku selesai, kemampuan menangkap bahan untuk menulis menjadi lebih kuat. Kita akan menyadari bahwa ide itu ada di mana-mana. Bahwa kita dapat menganalisa dan mengeksplorasi hal sekecil apapun, karena di balik hal yang kecil bisa saja terdapat bungkahan berlian yang nilainya sama dengan sebuah kota.
Alhamdulillah! Sekarang sudah 3 buku yang saya tulis. Sekarang buku keempat sedang digarap. Dengan terbitnya buku2 itu pula, maka kalimat “Sebelum mati buatlah minimal 1 buku’ sudah saya penuhi.
“Ayah…utang udah lunas loh?”

0 komentar:

Posting Komentar

 
Copyright 2009 UPM Millenium IAIN Jember. Powered by Blogger Blogger Templates create by Deluxe Templates. WP by Masterplan